Kamis, 08 Desember 2011

ANALISIS TAFSIR AS-SUYUTHI


BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar belakang
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembangan yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan. Setelah masa Rasulullah saw dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan al-Qur’an Tegasnya, penafsiran al-Qur’an dari para sahabat diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bi al-Ma’s|u>r dan tafsir bi al-ra’yi>, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
Melihat kenyataan tersebut, maka tidaklah heran kalau al-Qur’an mendapatkan perhatian yang besar dari umat Islam dan umat lainnya, melalui pengkajian intensip terutama dalam rangka penafsiran kata-kata demi mengungkap rahasia dan makna. Untuk itu diperlukan alat yang mampu membawa kita memahami al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Biografi Ima>m al-Suyu>ti>
2.      Latar belakang penulisan
3.      Corak dan Metode penulisan
4.      Kelibihan dan keutamaan tafsir al-Suyu>ti>


BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imām al-Suyu>i>
Imam Jalaluddi>n al-Suyu>ti> merupakan salah satu ulama dan ilmuwan Islam terkemuka. Nama beliau adalah ‘Abdul al-Rahma>n bin al-Kama>l Abi> Bakar bin Muammād bin Sa>biquddi>n bin a1-Fakhr ‘Utsmān bin Naziruddīn Muh}ammād bin Saifuddi>n bin Najamuddi>n Abi al-S}ala>h Ayyu>b bin Nas}iruddi>n Muammād bin al-Syaikh al-Hima>muddi>n a1-Hama>m a1-Khudai>ri> al-Suyu>ti>.[1] Sedang dalam kitab al-Tafsi>r wa a1-Mufassiru>n  nama lengkap a1-Suyu>ti> adalah al-Ha>fiz Jalaluddi>n Abu> al-Fadl Abdurrahma>n bin Abi> Bakr bin Muh}ammad al-Suyu>ti> al-Sya>fi'i.[2]
Imam al-Suyu>ī> dilahirkan malam ahad setelah magrib di bulan rajab pada tahun 849 H atau sekitar 1445 M dan meninggal pada tahun 911 H.
1.      Kegiatan menuntut ilmu
Beliau hidup di lingkungan yang penuh dengan keilmuan serta ketakwaan. Kedua matanya terbuka pada keilmuan dan ketakwaan karena ayahnya tekun mengajarkan membaca al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 855 H, ia telah hafal al-Qur’an sampai surat al-Tahri>m padahal usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya mendekati dari 8 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur’an, kemudian Ia juga telah menghafal Minha>ju al-Fiqh wa al-Usu>l, Alfiyah ibn Mālik dan lain-lainnya.[3]
Ketika menuntut ilmu, Imām al-Suyu>ti> tidak hanya belajar di satu tempat, tetapi banyak melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai negara untuk menemui ulama-ulama besar. Negara-negara yang telah dikunjunginya adalah Mesir, Syam, Yaman, India, Takrur, dan Hijaz. Adapun tempat-tempat yang telah dikunjunginya di Mesir adalah al-Fayum, Dimyat, al-Mahalah, dan lain-lain.
Pada tahun 869 H, Imām al-Suyu>ti> pergi berhajji ke Mekkah, kemudian kembali ke Kairo. Di sana ia mengajar Ilmu Fiqih sampai tahun 872 H. Ia kemudian diangkat sebagai guru besar di sekolah al-Syaikhuniyyah, jabatan yang pernah diduduki oleh almarhum ayahnya. Jabatan itu diberikan kepadanya atas rekomendasi seorang ulama besar di Kairo, yaitu Syaikh al-Bulqani. Pada tahun 891 H, ia pindah ke sekolah yang lebih terkenal, yaitu sekolah al-Baibirsiyah. Namun tidak berapa lama kemudian, tepatnya tahun 906 H, ia mengundurkan diri dari jabatannya karena difitnah telah mengkhianati amanah barang-barang inventaris sekolah. Beberapa kali ia ditawari untuk menduduki jabatan itu kembali setelah terbukti tidak bersalah, tetapi tidak sedikit pun ia berkeinginan lagi menduduki jabatan itu.
Imām al-Suyu>ti> tidak hanya menguasai satu macam ilmu, tetapi ia menguasai tujuh macam ilmu, yakni tafsir, hadits, fiqih, nahwu, ma’ni, bayan, dan badi. Ia juga telah menghasilkan banyak kitab yang diperkirakan jumlahnya mencapai 561 kitab. Sebagian besar kitabnya termasyhur di seluruh dunia, baik ditimur maupun dibarat. Hal ini dapat dipahami karena ia menguasai berbagai ilmu dan kegiatan menulisnya telah ia mulai sejak berusia 17 tahun. Dalam kegiatan menuntut ilmu beliau sudah banyak mendatangi Ulama besar, diantaranya adalah:
a.       Jalaluddīn Al-Mahalli
b.      Amād bin Ali Ayamsahi (ulama fara’id)
c.       Al-Bulqaini (ulama fiqih)
d.      As-Syamani (ulama hadits, ushul fiqih, teologi dan nahwu)
e.       Al-Izzu anbāli (ulama hadits, bahasa Arab, sejarah)
Selain guru laki-laki, al-Suyu>ti>  juga meresap ilmu dari sejumlah ilmuwan perempuan, diantaranya:
a.       Aisyah binti Jarullah
b.      Ummu Hani binti Abul asan
c.       Shaliah binti Ali
d.      Niswan binti Abdullah Al-Kanani
e.       ajār binti Muammād Al-Mishriyyah
2.      Kitab-kitab yang beliau telah tulis
Al-Suyu>ti> mulai menulis ketika masih berusia 17 tahun. Namun ia baru memusatkan diri dalam berkarya ketika usianya menginjak 40 tahun. Ia beruzlah di tempat tinggalnya, Raudatul Miqya>s, di tepian Sungai Nil. Ia termasuk ulama yang sangat produktif dalam berkarya. Ia memiliki ratusan kitab dalam berbagai bidang keilmuan, mulai dari tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab, sastra, tasawuf, hingga ilmu sejarah. Ibnu Iyās, salah seorang murid al-Suyu>ti>, mengatakan bahwa jumlah karya al-Suyu>ti> mencapai 600 buah. Adapun, karya al-Suyu>ti> mencapai 725 buah.[4] Karya al-Suyu>ti> diantaranya:
a.       Al-Itqan fi> ‘Ulu>m al-Qur’an
b.      Al-Dur al-Manshur fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’s|u>r
c.       Tarjuman al-Qur’an fi> al-Tafsir al-Musnad
d.      Asra>r al-Tanzi>l
e.       Luba>b al-Nuqu>l fi> Asbab al-Nuzul
f.        Al-Takhbi>r fi> ‘Ulu>m al-Tafsir
g.      Mufhamat al-Qur’an fi> Mubhamat al-Qur’an
h.      Al-Iklil fi> Istinba>t al-Tanzi>l
i.        Al-Hasyisyah fi Tafsir al-Baid|a>wi>
j.        Takmilah al-Tafsir al-Syaikh Jala>luddin al-Mahalli
B. Latar belakang penulisan
Menurut al-Ż|ahabi> sebagaimana juga diakui al-Suyu>t}i> dalam muqaddimah kitabnya, karya ini merupakan kitab musnad hadis[5] yang berisikan tafsir atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Di dalamnya memuat sekitar 10.000 hadits marfu>‘ dan hadits mauqu>f,[6] diselesaikan dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjuma>n al-Qur’a>n. Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam memahami kitab tersebut, al-Suyu>t}i> meringkasnya dengan hanya mencantumkan matan atau teks hadits tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun demikian dijelaskan bahwa sumber hadis-hadis tersebut merupakan hasil takhri>j dari kitab-kitab yang mu’tabar, kitab tersebut diberi nama al-Durr al-Mans\u>r  fi> al-Tafsi>r al-Ma’s\u>r [7] (Mutiara yang bertebaran dalam penafsiran berdasarkan al-Qur’an dan Hadis).
Sepanjang penelusuran, penulis tidak menemukan kitab Tarjuman al-Qur’an sebagaimana dimaksud, penulis hanya menemukan kitab al-Dur al-Mans\u>r  fi> at-Tafsi>r al-Ma’s|u>r, Mukhtas}ar Tarjuma>n al-Qur’a>n dalam beberapa terbitan, di antaranya yang diterbitkan oleh Da>r al-Ilmiyyat, Beirut, Libanon cetakan tahun 1999 yang terdiri dari 6 jilid besar. Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid kedua 617 halaman, jilid ketiga 646 halaman, jilid keempat 673 halaman, jilid kelima 762 halaman dan jilid kelima 767 halaman. Selain itu, sepanjang penelusuran, kitab tersebut belum pernah disitasi dalam karya tafsir dan karya-karya lainnya.
Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab Tarjuma>n al-Qur’a>n belum pernah dipublikasikan oleh al-Suyu>t}i>. Namun tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab tersebut. Merujuk kepada pemetaan Abdul Mustaqim, karya al-Suyuti ini tergolong tafsir era pertengahan yang dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan.[8] Hal ini karena perhatian yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan pada saat itu.
Berbagai diskusi digelar mengenai segala ilmu pengetahuan yang sumbernya juga banyak diadopsi dari dunia luar. Periode pertengahan ini berada dalam kurun waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode kontemporer. Sebagai konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosio-kultural dan politik, disamping al-Qur’an sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, maka muncul berbagai corak ideologi penafsiran. Meskipun tidak pernah menyatakan secara langsung, oleh para ulama pada masanya al-Suyuti disebut-sebut berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak penafsirannya, selain itu semenjak kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam lingkungan madzhab syafi’i.[9]
C. Metode dan Sumber penafsiran
Secara keseluruhan kitab tafsir ini menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Menurut al-Z|ahabi> riwayat-riwayat dalam kitab ini diambil dari karya al-Bukha>ri> (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), an-Nasa>’i> (w. 303 H/ 915 M), al-Turmuz|i> (w. 279 H/ 892 M), Ah}mad (w. 241 H/ 855 M), Abu> Da>wud (275 H/ 892 M), Ibn Jari>r (w. 310 H/ 923), Ibn Abi> H}a>tim (w. 327 H), ‘Abd ibn Hami>d, Ibn Abi> al-Dunya (w. 281 H/ 894 M).[10] Selain itu juga terdapat riwayat yang dikutip dari karya ‘Abd Razza>q, Abu Na’i>m, al-Baihaqi> (as-Sunan al-Kubra & Sya’b al-I>ma>n) (w. 458 H/ 1066 M), al-Bazza>r, al-Farya>bi,> al-H}a>kim (w. 405 H/ 1014 M), at-T}abra>ni> dalam al-Aswat (w.  360 H/ 971 M)}, Ibn Abi> Syaibah (w. 235 H/ 850 M), Ibn al-Muba>rak, Ibn al-Munz|ir, Ibn Murdawaih, Ibn Sa’d, Sa’i>d ibn Mans}ur dan sebagainya.
Senada dengan namanya, karya tafsir ini tergolong bil-ma’s\u>r karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Sistematika penulisan kitab ini mengikuti tarti>b mush}afi (sesuai dengan urutan mushaf), dimulai surat al-Fa>tih}ah dan diakhiri surat al-Na>s. Pada awal pembahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asba>b al-nuzu>l dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sa}habat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara sistematis.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tah}li>li> dengan bentuk bil-ma’s|u>r.[11] Meskipun dikategorikan dalam metode tah}li>li> (analisis) dengan menafsirkan secara analisis menurut urutan mushaf, al-Suyu>t}i> sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa (kosakata/lafaz), menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’ja>z dan bala>ghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, asba>b al-nuzu>l, muna>sabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Ia hanya mecantumkan riwayat-riwayat[12] yang diawali kata akhraja dilanjutkan dengan hadits atau kata akhraja diikuti sepintas nama kitab atau pengarang kitab yang dirujuk kemudian riwayat yang berisi penjelasan terhadap ayat yang terkait tanpa menjelaskan s}ah}i>h} atau d}a’i>f-nya riwayat tersebut.
Namun dilihat dari sisi periwayatan, dengan asumsi bahwa kitab ini adalah mukhtas}ar (ringkasan) dari kitab Tarjuma>n al-Qur’a>n yang dipotong sanadnya, dengan alasan untuk memudahkan pembaca sebagaimana yang ditulis oleh al-Z|ahabi>, maka dimungkinkan bahwa sanad lengkap dan kualitasnya dapat ditemui pada kitab tersebut.
Menurut penulis, ini sebuah ciri khas yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain, bahwa secara konsisten al-Suyu>t}i> menggunakan riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi. Meskipun secara lahir tidak ada sedikit pun penggunaan ra’yi, suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya sendiri. Ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai rujukannya.[13]
Karena tafsir ini tergolong tafsir bi al-ma’s|u>r dengan menggunakan riwayat Nabi dan shahabat yang langsung menjelaskan hal-hal yang terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an, lebih jauh dapat dikatakan bahwa al-Suyu>t}i> hanya berperan sebagai penghimpun riwayat dan tidak berperan aktif (passif) maka relatif sulit bagi penulis untuk memberikan penilaian.
D. Kekurangan Tafsir Al-Suyuthi
Ada beberapa hal yang patut untuk mendapat kritikan adalah adalah sebagai berikut:
a.       Secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat memperkuat riwayat yang disampaikan meskipun pada setiap awal riwayat terdapat rujukan singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang terkenal seperti yang diakui al-Suyu>t}i> dalam muqoddimah kitab.
b.      Al-Suyu>t}i> tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip sehingga dimungkinkan masuknya isra>‘i>liyya>t. Sebagai contoh, dalam menafsirkan QS. Al-Ma>idah (5): 22 al-Suyu>t}i> mengutip riwayat tentang keengganan kaum Nabi Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati orang-orang yang gagah perkasa (kaum jabba>ru>n). Hal ini tentunya memunculkan kecurigaan ketika tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang dicantumkan. Selain itu, dalam riwayat yang dikutipnya terdapat banyak pengulangan (at-tikrar) dan bertele-tele.
c.       Tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang lain sebagai sumber penafsiran sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk al-Qur’an bersifat parsial. Sebagai contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kataهدى للمتقين  dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat lain yaitu QS. Fus}s}ilat (41): 44, QS. al-Isra>’ (17): 82 dan QS. Yunus (10): 82.[14] Sedangkan dalam Tafsir al-Durr al-Mans|u>r lebih menjelaskan apa yang yang disebut dan dipahami sebagai هدى للمتقين tentunya melalui riwayat-riwayat yang berkaitan secara berurutan[15].
d.      Sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian tertentu baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz}, menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur ija>z dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum asba>b al-nuzu>l, muna>sabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir.
Karena secara keseluruhan berisi riwayat, maka objek material tafsir ini adalah riwayat-riwayat hadits. Sedangkan dalam proses penelitian hadis, yang menjadi awal penelitian adalah kaidah kesahihan yang telah dikemukakan oleh para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas s}ah}i>h}. Selain serentetan metodologi yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad, juga digunakan metodologi untuk menentukan kualitas matan hadis, karena kualitas sanad dan matan tidak selalu sejalan.[16] Ada kalanya sanad-nya s}ah}i>h} akan tetapi matannya mardu>d. Dengan melakukan penelitian sanad, dapat diketahui kualitas periwayatan sebuah hadis. Sedangkan dengan melakukan penelitian matan, dapat diketahui matan sebuah hadits tersebut maqbu>l atau mardu>d (diterima atau ditolak). Selain itu, standar untuk menentukan status hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan muamalah jelas berbeda dengan standar yang berkaitan dengan yang lainnya. Ada yang terkesan longgar (mutasa>hil), moderat (mutawa>sit}) dan ketat (mutasyaddid).[17]
Sementara dari sisi penunjukannya (dala>lah), secara umum para ulama sepakat bahwa hadis dapat dijadikan h}ujjah, namun dalam beberapa hal berkenaan dengan hadis secara keseluruhan masih terjadi diskusi panjang terhadap jenis-jenis hadis yang dapat dijadikan h}ujjah. Tidak diragukan lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis mutawa>tir dapat dijadikan h}ujjah, namun terhadap hadis a>h{ad masih meinmbulkan berbagai perbedaan pendapat. Ada yang menolak menjadikan h}ujjah dan ada yang menerimanya dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai s}ah}i>h dan h}asan serta tidak d}a’i>f.
Selain persoalan teknis mengenai kualitas sebuah hadis melalui kajian naqd al-hadi>s} (lebih ditekankan pada kritik sanad dan matan), problem yang dialami seringkali bersifat spesifik dan variatif. Respon Rasulullah saw, terhadap problem yang dialami pada masa itu dituntut melalui bahasa spesifik dan sesuai dengan karakter problem, yang boleh jadi juga spesifik dan khas.
 

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan diatas maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Imam al-suyuti adalah sosok yang disegani, banyak orang yang berguru kepadanya dan meminta fatwah, bahkan pemerintah menghadiahkan kepada beliau beberapa hadia namun beliau hanya mengambil budak saja dan memerdekakannya, dalam menuntut ilmu beliau tidak hanya mendatangi satu atau dua orang guru saja, tapi beliau mendatangi beberapa ulama yang terkenal dan ahli dalam bidangnya masing-masing. Beliau juga sangat aktif dalam menulis, sehingga banyak karang beliau yang salah satunya adalah tafsir al-Addurr al-Mans\u>r fi tafsi>r bi al-Ma’s\u>r.
2.      Tafsir ini adalah ringkasan dari tarjuman al-Quran.
3.      Sesuai dengan namanya, maka corak tafsir tergolong didalam corak bi al-ma’s\u>r
4.      Salah satu keunggulan kitab tasir ini adalah mudah untuk dipahami dan mudah untuk dibaca. Namun dilain disisi dalam pennafsiran ini tidk menggunakan ayat lain untk menafsiran ayat tersebut, mencampur adukk antara hadis s}ah}ih} dan daif.


B. Saran
Didalam makala kami tentunya masih banyak yang ingin dibenahi, baik itu dari segi penulisannya, ataupun kekurangan penjelasan bahkan mungkin ada penjelasan kami yang salah. Olehnya itu kami sangat mengharap saran dari Ust, selaku yang menangani mata kuliah ini.
Mudah-mudahan makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat terutama bagi kami (penulis), masukan dari teman-teman juga tentunya sangat penulis butuhkan dalam kesempurnaan makala kami.


Daftar Pustaka
Al-Suyuti, al-Ha>fiz Jalaluddi>n Abu> al-Fadl Abdurrahma>n bin Abi> Bakr bin Muh}ammad  al-Dar al-Mansu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’su>r, juz I, Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dira>sa>ti al-Arabi> wa al-Islami
Al-zahabi>, Muh}ammad Husain. al-tafsi>r wa al-mufassiru>n, al-Na>syir Maktaba Wahbah. t.t
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Mah}mud, Mani’ ‘Abd H>>>>}>alim, Metodologi tafsir: kajian komprehensif netode para ahli tafsir, PT Raja Grafindo, 2006.
...........................Rofiq, Ahmad, ed. Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004),
Al-Dimasyqi, Abul Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m. Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyyah. 1991.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996.
Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.


[1]Al-Suyuti, al-Dar al-Mansu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’su>r, juz I, Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dira>sa>ti al-Arabi> wa al-Islami>. hal. 17  
[2] Muh}ammad Husain al-zahabi>, al-tafsi>r wa al-mufassiru>n, al-Na>syir Maktaba Wahbah. hal. 180
[3]Al-Suyu>ti>, Op.Cit, hal. 18
[4]Mani` Abd Halim Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif netode para ahli tafsir, (PT Raja Grafindo, 2006). hal. 128 
[5]Dinamai kitab “musnad” jika penyusunnya memasukkan semua hadis yang ia terima, tanpa menyaring dan menjelaskan kualitas hadis-hadis tersebut. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 104. Dalam pengertian lain, kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang lebih dahulu masuk Islam atau berdasarkan nasab. Lihat Subh}i as-Sa>lih}, Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t|alah}uh (Beirut: Da>r al-‘Ilm wa al-Malayin, 1988), hlm. 123.
[6]Hadis marfu>’ adalah hadis yang dihubungkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqri>r. Hadis itu disebut marfu>’ karena mempunyai derajat yang tinggi karena dihubungkan dengan Nabi saw, baik dengan menggunakan sanad yang mutta}sil (bersambung) atau tidak. Sedangkan hadis mauqu>f adalah hadis yang dihubungkan kepada sahabat. Lihat ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa Mus}t|alah}uh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 355.
[7]al|-Z|ahabi>, Op.Cit, hal. 252. Lihat juga as-Suyu>t}i>, Op.Cit,  hlm. 14.
[8]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 67.
[9]al-Suyu>t}i, al-Tahbi>r fi ‘Ilm al-Tafsi>r, hlm. 29-31
[10]al-Z|ahabi>,Op.Cit,, hlm. 254.
[11]Metode tah}li>li analitis adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 32. Sementara tafsir bil-ma’s|u>r merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi saw, para sahabat dan juga para tabi’in. mengenai riwayat tabi’in terdapat perbedaan pendapat. Lihat Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005) hlm. 42.
[12]Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan normatif-historis yang berbazis riwayat. Lihat A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004), hlm 132.

[13]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 141.
[14]Al-H}a>fiz| Ibn Kas}i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m (Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyyah, 1991), Jilid I, hlm. 37-38.
[15]Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Adurr al-Mans|u>r, Jilid I, hlm. 57.
[16]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),  hlm. 115.
[17]Suryadi (dkk.), Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 5.