BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam tradisi ilmu hadis, untuk menentukan kualitas sebuah hadis diperlukan serangkaian penelitian, baik menggunakan metode atau kaidah yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad maupun metode untuk menentukan kualitas matan. Hal ini dilakukan karena kualitas keduanya tidak selalu sejalan,[1] ada kalanya sanadnya shahih akan tetapi matannya mardud. Dari langkah-langkah tersebut minimal akan diketahui proses penentuan kualitas hadis secara keseluruhan baik dilihat dari sanad dan matan meskipun hal itu tergolong ijtihad (relative). Tidak berhenti disitu, jika dilihat secara seksama akan terlihat bahwa ungkapan, perilaku dan ketetapan Nabi saw selain bersifat lokal dan temporal juga bersifat universal. Pemahaman terhadap berbagai peristiwa disekeliling beliau tersebut jika dihubungkan dengan latar belakang terjadinya maka ada yang harus diterapkan secara tekstual dan ada yang harus ditetapkan secara kontekstual pada masa sekarang.[2]
Dalam pada itu, adalah sebuah keniscayaan bahwa memahami sebuah hadis tidak cukup hanya melihat teks hadis namun juga perlu memperhatikan konteksnya karena tidak jarang ada hadis yang secara tekstual nampak bertentangan (mukhtalīf) atau sulit dipahami (gharīb). Nah ketika hadis itu memiliki asbābul wurūd, setidaknya dapat diraba kepada siapa hadis itu disampaikan dan dalam kondisi sosial-kultural yang bagaimana Nabi menyampaikannya. Hal itu perlu dikaji untuk menangkap pesan moral di dalamnya. Tanpa memperhatikan konteks historisitas tersebut, terkadang akan ditemui kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadis, bahkan dapat membawa ke dalam pemahaman yang barangkali kurang sesuai.
Persoalannya tidak semua hadis memiliki asbābul wurūd secara integral atau built in dalam sebuah riwayat. Tulisan ini sekilas berupaya melakukan eksplorasi berkenaan dengan upaya alternatif memahami hadis yang tidak memiliki asbābul wurūd dalam konteks yang seolah-olah hampa kultural tersebut berikut aplikasi sederhana.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asbābul wurūd ?
2. Bagaimana pembagian asbābul wurūd ?
3. Apa urgensi asbābul wurūd ?
4. Kitab-kitab apakah yang membahas asbābul wurūd ?
BAB II
PEMBAHASA
A. Pengertia Asbābul Wurūd
Secara etimologis, asbābul wurūd merupakan susunan iḍāfah yang terdiri dari dua kata yaitu: asbāb dan al-wurūd. Kata “asbāb” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Yang artinya adalah: Sebab, alasan, dan illat. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-ḥabl yang berararti tali atau penghubung, yaitu segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu, sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا يته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Sedangkan kata wurūd merupakan bentuk isim masdar dari kata warada-yaridu-wurūdan yang berarti kedatangan atau sampai kepada sesuatu.[3] Beberapa definisi dalam diskursus ilmu hadis sebagaimana berikut:
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[4]
Dengan demikian, secara sederhana asbābul wurūd dapat disimpulkan pengertiannya, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab atau latar belakang Rasulullah saw menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbābul wurūd dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang munculnya suatu hadis.
Ilmu asbābul wurūd al-ḥadīṡ ini penting untuk diketahui, karna ilmu ini dapat menolong dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu asbābun an-nuzūl dapat menolong dalam memahami Al-Quran. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah sejarah dikeluarkan hadits itu sudah tercakup dalam pembahasan ‘ilmu Tārikh, karna itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi, karna ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seharusnya tercakup dalam ilmu Tārikh dan mempunyai faedah yang besar sekali dalam lapangan ilmu Hadits, maka kebanyakan Muḥaddiṡīn menjadikan ilmu ini suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu Hadits dari jurusan Matan.
B. Macam-macam asbābul wurūd
Asbābul wurūd terbagi kedalam dua bagian yaitu pertama hadits yang memiliki asbābul wurūd dan yang kedua hadits yang tidak memilik asbābul wurūd. Adapaun bagian yang pertama yaitu hadits yang memiliki asbabul wurud terbagi kedalam tiga bagian yaitu sebagai berikut:[5]
- Asbābul wurūd yang berupa ayat al-Qur’an, yaitu ayat al-Qur’an yang menjadi penyebab Nabi saw menyampaikan sabdanya. Karna ada sebagian ayat yang bersifat mutasyābih sehinggah para sahabat kesulitan dalam memahaminya sehinggah Nabi pun menyampaikan sabdanya untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut, Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi saw kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)
- Asbābul wurūd yang berupa hadis (kesulitan para sahabat memahami suatu hadis, menjadi penyebab munculnya hadis lain).
- Asbābul wurūd yang berkaitan dengan peristiwa yang di alami sahabat.
C. Urgensi asbābul wurūd
Asbābul wurūd mempunya beberapa mamfaat antara lain sebagai berikut:
1. Untuk membantu memahami dan menafsirkan sebua hadits.
2. Sering dijumpai lafadz nash hadits diungkapkan dalam bentuk umum, sehinggah untuk memahaminya perlu dalil untuk mentakhsisnya.
3. Unuk mengetahui hikma ketentuan syariat islam.
4. Untuk mentakhsiskan hukum bagi yang berpedoman pada kaidah Uṣul fiqi al-ibrah bikhusūs al-sabab ( mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus.[6]
D. Kitab-kitab yang membahas asbābul wurūd
Ilmu mengenai asbābul wurūd al-ḥadīṡ ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ‘ilmu asbābul wurūd menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbābul wurūd.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbābul wurūd antara lain adalah:
1. Asbābu wurūd al-Ḥadīṡ karya Abū ḥafs al-Uhkbāri (w. 339 H.),
2. Asbābu wurūd al-Ḥadiṡ karya Abū Ḥāmid ‘Abdul Jālil Al-Jabāri.
- Asbābul Wurūd al-Ḥadīs atau yang disebut juga al-Luma’ fī asbābil Wurūdil hadīs, karya Jalaluddīn ‘Abdurraḥmān as-Suyūṭi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yaḥya Isma’il Aḥmād.
- Al-Bayān wa at-Ta’rīf karya Ibnu Hamzah Al-Ḥusaini ad-Damasyqī (w.1110 H.)[7]
Selain itu, kita bisa juga mendapatkan informasi-informasi tentang asbābul wurūd al-ḥadīs pada kitab-kitab Tarīkh (sejarah) Islam klasik. Meski demikian, tentu saja pada kitab-kitab jenis ini tidak disebutkan secara sistematis bahwa sebuah potongan informasi sejarah merupakan asbābul wurūd dari suatu hadist. Karena itu, para pengkaji hadist biasanya lebih memilih untuk merujuk langsung pada kitab-kitab yang secara spesifik membahas asbābul wurūd.
BAB III
PENUTUP
1. Asbābul wurūd al-Ḥadīs dapat diberi pengertian yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi saw menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
2. Faedah asbābul Wurūd al-Ḥadīs, antara lain mentakhsis arti umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.
3. Mengetahu asbābul wurūd al-Ḥadīs sangat penting, karena dengan mengetahui asbābul wurūd al-Ḥadīs orang tidak akan salah dalam memahami hadis. Disamping itu bisa memperjelas maksud hadis yang sesuai dengan konteksnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
Ismail, Syuhudi. Hadits Nabi yang Kontekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Aḥmād ibn Fāris, Abū al-Ḥusain. Mu’jam Maqāyis al-Lughah. Beirut: Dār Iḥya’ at-Ṭurās al-
‘Arabi, 2001.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Ḥusain al-Munawwar, Sa’id Agil. & Mustaqim, ‘Abdul. Asbabul Wurud; Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
As-Suyuti, Jalāl ad-Dīn. Asbab Wurud al-Hadis. Kairo: Dārul ‘Ilmi, 2000.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
[2] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Kontekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 69.
[3] Abu al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqāyis al-Lugah (Beirut: Dar Ih ya’ at-Turas al-‘Arabi, 2001), hlm 455 dan 1051.
[5] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 9.
0 komentar:
Posting Komentar