Selasa, 06 Desember 2011

ANALISIS TAFSIR AR-RAZI


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Tafsir Al-Quran adalah kunci untuk membuka gudang simpanan Al-Quran, guna mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. Oleh karena itulah tafsir menjadi kebutuhan yang penting, karena kandungan al-Qur’ān tidak hanya menyodorkan ajaran agama, tapi juga pedoman kehidupan sosial.

Dalam hal ini Nabi Muhammad saw sendiri adalah orang pertama yang menjelaskan Al-Quran. Penafsiran Nabi Muhammad saw ini adakalanya dengan sunnah Qauliyah, ataupun dengan sunnah Taqrįriyah. Tetapi tafsir yang diterima dari Rasulullah, sedikit sekali. Dan para sahabat adalah orang-orang yang menjadi generasi penerusnya. Mereka menafsirkan Al-Quran secara nukilan (riwayat) dari seorang perawi kepada perawi lain. Generasi berikutnya adalah para tabi’įn, tabi’it tabi’įn dan generasi yang hidup sesudahnya.

Untuk menafsirkan al-Qur’ān diperlukan sebuah metode (manhāj) dan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh para mufassir. Metode penafsiran al-Qur’ān terus mengalami perkembangan. Pada masa klasik hanya dikenal dua metode, yaitu metode bil-ma’thūr (riwayat) dan bil-ra’yi (nalar). Pada periode kontemporer metode penafsiran al-Qur’ān  mengalami perkembangan, yaitu metode tahlilį, ijmalį, muqārįn dan mauzu’į. Metode merupakan gabungan alat perangkat sistem (strategi, pendekatan dan teknik).

Dalam makalah ini, penulis akan mengeksplorasi kitab tafsir ” Mafātih Al-Gaib karya Fakhuddīn Ar-Rāzi. Kitab yang ditulis pada abad 6 H. Kitab ini dijadikan referensi hampir oleh para ahli tafsir (mufassir) periode berikutnya.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini , yaitu:
1.      Bagaimanakah biografi Fakhruddīn Ar-Rāzi ?
2.      Bagaimanakah sejarah dan latar belakang penulisan kitab tafsir Ar-Rāzi ?
3.      Bagaimana metodologi dan corak penulisan tafsir Ar-Rāzi ?
4.      Apa kelebihan dan kekurangan tafsir Ar-Rāzi ?
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Imam Ar-Razi
  Nama lengkap beliau adalah Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimī Al-Bakhri A l-Rāzi, yang dalam literatur keilmuan klasik kita kenal dengan  nama Fakhruddīn Ar-Rāzi, beliau dilahirkan di Ray, yaitu sebua kota yang terletak disebelah tenggara Teheran Iran  pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M,[1] kemudian beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M. Tentang perawakannya ia berbadan tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan santun, beliau mempunyai beberapa nama panggilan seperti Abū ‘Abdillah,  Abū Ma’ali, Abul Fādil, dan Ibnu Khatib ar-Ray. Beberapa gelar itu diberikan disebabkan  karna pengetahuaannya yang luas, maka beliau mendapat berbagai gelar seperti: Khatib ar-RayImāmSyaikhul Islām dan fakhruddīn. Dia mendapat julukan Khatib ar-Rayy karena dia adalah ulama terkemuka dikota Ray. Dia dijuluki Imām karena menguasai ilmu fikhi dan ushul fiqih.  Dia dipanggil sebagai Syaikhul Islām  karena penguasaaan keilmuannya yang tinggi. Dan di dalam bidang tarfsir beliau lebih di kenal dengan nama Fakhruddīn Ar-Rāzi.
              Sejak kecil Imām Fakhruddīn Ar-Rāzi sudah di didik oleh ayahnya sendiri, syikh Dhiyauddīn, ulama terkemuka pada masanya yang berjuluk khatib Ar-Ray, beliau adalah seoramg tokoh, ulama dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat Ray[2], disitulah Ar-Rāzi berkembang menjadi manusia soleh dan pencinta ilmu, setelah beliau menyelesaikan pada ayahnya barulah beliau melakukan perjalanan keberbagai kota seperti Khurasan dimana disana banyak ulama besar yang berasal dari negri itu‘Abdullah bin mubārak, Imām Bukhāri, Imām Tirmiżi dan ulama besar lainnya, Dari khurasan atau lebih dikenal lagi dengan bukhara, beliau melanjutkan perjalanannya ke irak, terus ke syam, namun lebih banyak waktunya digunakan di khawarzimi untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudia teakhir beliau berangkat ke negri kota heart di daerah afganistan untuk belajar mengajar.[3]
Kesungguha Ar-Rāzi dalam menggali berbagao macam ilmu sudah tampak ketika ia masi muda. Disebutkan bahwa beliau telah dapat menghafal kitab Syāmil karya Al-Juāinī, Al-Mustasyfa’ karya Al-Gazāli dan kitab Al-Mu’tamad karya tokoh ternama kaum mu’tazilah aliran Baṣrah.[4]
 Selain sebagai seorang mufassir, beliau juga seorang pakar fikhi dan Ushul fikhi. Ilmu kalam, ilmu kedokteran dan filsafat, mengenai bidang ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab terkait ilmu tersebut, dan kitab-kitanya menjadi rujukan banyak ulama-ulama sesudahnya. Beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau.
Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, Ar-Rāzi lebih dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya di bidang filsafatnya ialah Syariḥ al-Isyaraḥ, yang berisi komentarnya mengenai kitab Al-Isyaraḥ wa At-Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan di bidang ushul fiqh karya besarnya berjudul Al-Maul fi ‘Ilmi Al-Uṣul, yang merangkum empat kitab besar dalam madzhab Syafi’i dan pendapat para ahli ilmu kalam.
Di masa tuanya, Ar-Razi menetap di Herat, Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis beberapa kitab hingga ajal menjemput nyawanya pada tahun 606 H/1209 M. Di kota Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu dimakamkan.
1.    Guru-guru beliau
      Perjalanan panjangnya  kebeberapa daerah tersebut memungkinkannya untuk        menemui beberapa ulama yang kemudian dijadikan guru dalam berbagai disiplin ilmu, utamanya dalam bidang tafsir.  Diantara beberapa ulama yang kemudian menjadi gurunya ialah:
a.    Salmān ibn Naṡir ibn Imrān ibn Muḥammad ibn Isma’īl ibn Isḥāq ibn Zaid ibn Ziyād ibn Maimun ibn Mahran, Abu Al-Qasīm al-Anṣāri, salah seorang murid imām al-Haramain.
b.    ‘Abd Mālik bin ‘Abdullah ibn Yusuf  ibn’ Abdullah ibn Yusuf  ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Imām Al-Haramain Ḍiyauddin Abu Al-Ma’ali l-Juwaini.
c.    Ibrahīm ibn Muḥammad ibn ibraḥim ibn mahran, Al-Imām Ruknuddīn Abu Isḥak Al-Isfirayani, seorang pakar teologi dan hukum islam dari Khurasan.
d.    Abu Ḥusain Muḥammad ibn Muḥammad ibn Abdurraḥmān ibn As-Sa’īd Al-Bahīli.
e.    ‘Ali ibn Isma’īl ibn Isḥaq ibn Sālim ibn Isma’īl ibn ‘Abdullah ibn Musa ibn Bilāl ibn Abu Bard ibn Abu Musa, seorang teolog yang terkenal dengan nama As-Syaikh Abu Ḥasan Al-Asy’ari Al-Baṣri.
f.     Muḥammad ibn ‘Abdul Wahhāb ibn Salām Abu ‘Ali Al-Jubbā’i, seorang tokoh teolog mu’tazilah.
g.     Al-Ḥasān ibn Mas’ūd ibn Muḥammad abu Muḥammad al-Bagāwi. Dari tokoh ini, Fakhruddīn Ar-Rāzi mendalami filsafat, disamping dari guru lainnya, terutama Majduddīn al-Jilli.
h.     Al-Ḥusain ibn Muḥammad ibn Aḥmad al-Qaḍi, Abu ‘Ali al-Maruzī.
i.       ‘Abdullah ibn Aḥmād ibn’ Abdulāh al-Maruzī, Abu Bakār al-Qaffāl as-Shagīr.
j.       Muḥammad ibn Aḥmād ibn ‘Abdullāh.
k.     Ibrahīm ibn Aḥmād Abu Isḥāq al-Maruzī.
l.       Aḥmād ibnu ‘Umar ibn Sari’ al-Qaḍi Abu al-‘Abbās al-Bagdādi.
m.   ‘Usmān ibn Sa’īd ibn Baṣr Abu al-Qasīm al-Anmati al-Bagdādi al-Aḥwāl.
n.    Muḥammad ibn Idrīs ibn al-‘Abbās ibn ‘Usmān ibn al-Syafī’i ibn as-Sayb ibn ‘Ubaid ibn Abu Yazīd ibn Hasyīm ibn ‘Abdul Muṭṭalib kakek Rasulullah SAW. [5]

2.      Murid-murid beliau
Beliau memiliki murid yang banyak dari setiap penjuru, namun yang dianggap paling populer adalah :
a. ‘Abd al-Hamīd ibn ‘Isa ibn Umrawiyah ibn Yusuf ibn Khalīl ibn Abdullāh, ibn Yūsuf. Ia adalah seorang ulama ahli fiqh dan teologi Islam (Mutakallimin). Nama kebesarannya adalah Al-‘Allāmah Syamsuddīn atau Abu Muḥammad Muḥammad al-Khasrusḥāhi.
b. Zaki ibn Ḥāsan ibn ‘Umar, yang terkenal dengan nama Abu Aḥmad al-Biliqāni. Ia adalah seorang ahli fiqh, teolog, ahli ushul dan muhaqqīq (ahli manuskrip).
c. Ibrahīm ibn ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali, nama sebutan lainnya adalah Imaduddīn Abu Ma’āli atau Al-Anṣarī al-Khuzrajī al-Zanjanī.
d. Ibrahīm ibn Muḥammad al-Sulamī al- Magrabī adalah seorang hakim yang terkenal diwilayah pinggiran Mesir.
e.    Aḥmād ibn Khālil ibn Sa’ādah ibn Ja’fār ibn Isa al-Mihlabi. Ia adalah ketua hakim yang terkenal dengan nama Syamsuddīn Abu al-‘Abbās atau al-Khubi.[6]

3.      Karya-karya beliau
Dilihat dari karya yng dihasilkan, Fakhruddin ar-Razi adalah seorang ulama yang sangat produktif dan memiliki wawasan yang cukup luas, tidak hanya terbatas pada bidang hukum dan metodologinya, tetapi juga dalam bidang filsafat, teologi (ilmu kalam), tafsir al-qur’an, tasawwuf, mantiq dan bahasa arab. Diantara karya yang dimaksud adalah :
            a. Al-Tafsīr al-Kabīr: Mafātih al-Ghaib
      b. Tafsīr al-Fatīnah
      c. Al-Tafsīr al-Shagīr: Asrār al-Tanzīl wa anwār al-Ta’wīl
      d. Nihāyat al-‘Uqūl
           e.  Al-Maṣul fi Ilm uṣul al-Fiqh
     f. Al-Mabāhit al-Masraqiyah
    g.  Lubāb al-Isharāt
    h. Al-Maṭālib al-‘Aliyah fi ilm al-Kalām
    i. Al-Ma’ālim fi uṡul al-Fiqh
   j.  Al-Ma’ālim fi uṡul al-Dīn
   k. Tanbīh al-isharah fi al-Uṣul
   l. Al-arba’īn fi uṡul al-Dīn
   m. Sirāj al-Qulūb
   n. Zubdāt al-Afkār wa ‘umdāt al-Nażār
   o. Sharh al-Isharat
   p. Manāqib al-Imām al-Syafi’i
   q. Tafsīr asmaillāh al-Husnā[7]
B.  .Latar belakang dan sejarah penulisan
Apabila dicari di dalam kitab tersebut, tidak ditemui petunjuk yang menyatakan  dinamakan sebagaimana yang tersebut. Bahkan tidak disebut juga di dalam mukadimahnya dengan nama yang tertentu sebagaimana buku lain. Apabila dikaji dalam beberapa buah kitab biografi ulama lain terdapat beberapa penyataan berkaitan kitab ini, antaranya:
1.      Al-Dāwudi berkata  ”Tafsīr al-Kabīr ini ditulis sebanyak 12 jilid dengan di namakan Fath al-Ghaib atau Mafātih al-Gaib.”[8]
2.       Berkata pula Siddiq Hasan: Kitab Mafātih al-Ghaib yang dikenali juga sebagai Tafīr al-Kabīr dihasilkan oleh Fakhr al-Dīn, Muḥammad bin ‘Umar al-Rāzi – wafat 606H.[9]
Menurut sebagian ulama, seluru kandungan kita tafsir al-Kabīr al-Musammā mafātih al-Gaib, itu bukanlah karya otentik dari imām ar-Rāzi yang utuh, karna ia belum sempat menuntaskan penafsiran 30 juz dari ayat-ayat Al-Quran, seputar hal ini,terdapat beberapa ulama yang menyebutkan tentang batasan penafsiran ayat Al_Quran yang diselesaikan oleh imām Ar-Rāzi sendiri. Ada yang mengatakan imām Ar-Rāzi hanya menyelesaikan tafsirnya sampai surah Al-Ambiyā. Pendapat kedua mengatakan bahwa ar-Rāzi menyelesaikan tafsirnya hingga surah al-Wāqi’ah, ada juga yang mengatakan bahwa ar-Rāzi telah menyelesaikan tafsirnya hingga surah Al-Bayyinah, dengan alasan beliau pernah mengutip ayat 5 dari surah Al-Bayyinah[10].
Mengenai perbedaan pendapat terkait Ar-Rāzi menyelesaikan tafsirnya atau tidak, Al-‘Umari menyimpulkan setelah melakukan penelitian bahwa sebenarnya imām Ar-Rāzi telah menyelesaikan penulisan tafsir 30 juz Al-Quran. Akan tetapi karena kekacauan yang terjadi yan menimpa kota Khawarizmi, yang diantaranya disebabkan karna adanya serangan yang dilakukan oleh Tatar 11 tahun setelah Ar-Rāzi meninggal dunia, maka hilanglah satu juz dari kitab itu. Kekurangan itu kemudian dilengkapi oleh Syihauddīn Al-Kūby (w. 639. H/1241 H)[11]
C.  Metode dan Corak Penafsiran
            Dari hasil analisis penulis, di tinjau dari metode yang digunakan Ar-Rāzi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, sama juga seperti mufassir yang lain, beliau berusaha menafsirkan dan menjelaskan semua isi ayat Al-Quran, baik yang berkaitan dengan masalah kebahsaan, akidah, syariat, ahklak maupun sejarah. Oleh karna itu, tafsir Al-Kabir ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bi-Ra’yi, dengan metode tahlili sekaligus maudhui, dan bercorak ilmi, adabi, fikhi dan aqidi.
             Hanya saja, yang menjadi karakteristik khusus dari tafsir ini, adalah keluasan dan kedalaman pembahasan yang dilakukan oleh imām Ar-Rāzi dalam menafsirkan satu ayat al-Quran, selain itu Imām Ar-Rāzi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan hubungan-hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya (Munasabah bil-ayah), dan hubungan antara surah ( Munasabah bi As-Surah), Adakalnya beliau tidak hanya mengemukakan satu hubungan saja, tapi lebi dari satu hubungan. Walaupun demikian, beliau juga tidak melewatkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gramatika dan sastra.
              Dalam bidang fikhi Imām Ar-Rāzi selalu berusaha menjelaskan pendapat Imam Syafi’i khususnya pada ayat-ayat yang berkaitan masalah fikhi dan ushul fikhi. Sedangkan dalam bidang Teologi atau ilmu kalam, Ar-Rāzi banyak mengungkapkan pemikiran yang dikembangkan oleh Abu Musa Al-Ays’ari, yaitu ketika membahas ayat-ayat yang berkaitan tentang ketuhanan, bahkan beliau selalu berusaha menyangkal ide-ide mu’tazila begitupula aliran-aliran yang dianggap sebagai aliran sesat. 
Ar-Rāzi juga dalam tafsirnya menambahkan ayayat-ayat israilyat namun sangat sedikit sekali. Tujuan beliau menulis ayat-ayat israilyat dalam tafsirnya adalah untuk membantah dan meluruskan kepada kisah yang sebenarnya. Seperti kisah harut dan marut, kisah Daud,Sulaimān,dan banyak kisah yang lainnya. Disinilah peran Imām Ar-Rāzi untuk meluruskan kembali kepada kisah yang benar yang berasal dari hadtis yang shahih.
Di samping itu menurut Al-‘Umari bahwa banyak pemikiran Ar-Rāzi yang dikembangkan dalam tafsirnya tersebut diorentasikan pada pemikiran filsafat dan kalam, bahkan bias dikatakan bahwa Ar-Rāzi berusaha mencari titik temu antara filsafat dan wahyu.[12] Metode yang digunakan Oleh Imām Ar-Rāzi ini merupakan metode yang baru dan tidak banyak digunakan atau diluar kebiasaan yang dilakukan oleh para ahli tafsir pada waktu itu, sehingga sebagian ulama telah menyeut bahwa Ar-Rāzi pelopor penfsir yang bercorak ‘ilmi.
D.  Kelebihan dan kekurangan
Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh  tafsir Ar-Rāzi yang ditemukan bagi yang meneliti tafsir ini, antara lain sebagai berikut:
1.      Mengutamakan tentang munasabah surat-surah Al-Quran dan ayat-ayatnya satu sama lain sehingga beliau menjelaskan hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan Al-Quran dan ayat dengan keilmuan  yang berkembang.
2.      Membubuhkan banyak pendapat para ahli, baik ahli falsafah, ahli ilmu kalam, ahli fikhi dan lain-lain.
3.      Kalau beliau menemui  ayat hukum, maka beliau selalu menyebutkan semua madzhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada madzhab Syafī’i yang merupakan pegangannya dalam ibadah dan mu’amalat.
4.      Ar-Rāzi menambahkan dari apa yang telah disebutkan di atas, dengan masalah tentang ilmu ushul, balaghah, nahwu dan yang lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar.
5.      Belia melengkapi tafsirnya dengan menjelaskan Asbab al-Nuzul.
Adapun kekurangan yang terdapat dalam tafsir Ar-Rāzi, ada bebrapa pandangan Ulama mengenai hal ini, antara lain:
1.      Abu Hayan (w. 988H/1580 M) berkata: “Dalam tafsir Al-Kabīr, Ar-Rāzi telah mengumpulkan berbagai hal yang tidak mempunyai kaitan dengan masalah penafsiran ayat Al-Quran,” lebih tegas lagi, sebagian ulama ada yang mengatakan: “ Segala hal dapat ditemukan dalam kitab Tafsīr Al-Kabīr, kecuali penafsiran Al-Quran,”[13]       
2.      Manna’Al-Qaṭṭan mengemukakan bahwa: “Ilmu aqliyah mendominasi isi kitab Tafsīr Al-Kabīr, sehingga bisa dikatakan bahwa kitab tafsir ini telah keluar dari ruh tafsir Al-Quran,”[14]
3.      Rāsyid Riḍa (w. 1935 M) berkata: “Ar-Rāzi adalah orang ahli tafsir yang sangat sedikit mengetahui tentang sunnah,”[15]
4.      Ibnu Ḥajār Al-‘Asqalāni (w. 852 H/1448 M) didalam kitab lisān Al-Mizān mengemukakan bahwa saya membaca dalam ikṡir fil ilmi at-Tafsīr yang disusun oleh At-Tūfi, ia mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan alam kitab Tafsīr Al-Kabīr,[16]
Diantara beberpa kritikan yang menghujat metode yang dipakai Imām Ar-Rāzi, sebrnarnya beliau beralasan bahwa, yang dilakukan itu lebi baik dari pada penafsiran Al-Quran dengan hanya berkutat pada pembahasan gramatika dan sastra suatu ayat. Para penafsir perlu mengungkapakan segala rahasia yang dikandung Al-Quran melalui ilmu pengetahuan yang telah dikuasai, dengan demikian akan tampak kekuasaan Allah dan mukjizat Al-Quran dalam bidang ilmu pengetahuan disamping hanya bidang tata bahasa dan sastra saja.   
Apalagi kalau hanya berkutat pada masalah fiqhiyah saja, maka akan terkesan seakan-akan Al-Quran hanya sebagai sumber hukum saja, padahal Al-Quran itu. Disamping sebagai sumber hukum, ia juga merupakan sumber segala macam ilmu pengetahuan lainnya. Para ahli tafsir seharusnya menggali beberapa ilmu pengetahuan yang dikandung Al-Quran, karna ayat-ayat Al-Quran banyak bercerita tentang  rahasia alam, manusia, berbagai cabang ilmu pengetahuan, dan anjuran untuk mengkaji itu semua, jumlahnya lebih banyak kalau dibandingkan dengan ayat-ayat ahkam yang berjumlah tidak lebih dari 200 ayat saja.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Nama lengkap Ar-Rāzi adalah Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimī Al-Bakhri  l-Rāzi, beliau memiliki banyak gelar seperti: Katib Ar-Ray, syaikhul islam, Imam Dan fakhuddin. beliau dilahirkan di Ray, yaitu sebua kota yang terletak disebelah tenggara Teheran Iran  pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M, kemudian beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M.
2.      Nama Mafātih Al-Gaib atau Al-Kabīr adalah pemberian langsun dari imam Ar-Rāzi tidak diketahui apa alasan terkait pemberian nama kitab tersebut  karna tidak ditemukan dalam kitabnya.  Menurut sebagian ulama, seluru kandungan kita Tafsīr Al-Kabīr al-Musammā mafātih al-Gaib, itu bukanlah karya otentik dari Imām ar-Rāzi yang utuh, karna ia belum sempat menuntaskan penafsiran 30 juz dari ayat-ayat Al-Quran. Disebabkan karena kekacauan yang terjadi yang menimpa kota Khawarizmi, yang diantaranya disebabkan karna adanya serangan yang dilakukan oleh Tatar 11 tahun setelah Ar-Rāzi meninggal dunia, maka hilanglah satu juz dari kitab itu. Kekurangan itu kemudian dilengkapi oleh Syihauddīn Al-Kūbī (w. 639. H/1241 H)
3.      Tafsīr Al-Kabīr ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bi-Ra’yi, dengan metode tahlili sekaligus maudhui, dan bercorak ilmi, fikhi dan aqidi.
4.      Imām Ar-Rāzi dalam tafsirnya, memiliki banyak keistimewaan, orang yang telah meneliti tafsir ini pasti akan mendapatkan beberapa poin penting. Namun ada beberapa ulama yang mengkritik metode yang dipakai oleh Imām Ar-Rāzi karna menurut mereka, metode yang dipakai oleh Imām Ar-Rāzi itu diluar kebiasaan para ahli tafsir kebanyakan, tapi Ar-Rāzi memiliki alasan tersendiri, menurut beliau, Al-Quran memiliki banyak wawasan ilmu pengetahuan, jika seorang mufassir hanya fokus pada satu corak tafsir saja misalnya hanya fokus pada ayat-ayat hokum saja, maka seakan-akan Al-Quran hanya sebagai sumber hukum padahal Al-Quran memiliki banyak cabang ilmu pengatahuan.       

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husai Az-Zahabi, At-Tafsīr wal mufassirūn, jilid 1 Darul hadits kairo, 2005,
Abd Mu’īn An-Namīr, Ilmu Tafsīr, Kairo Darul kutub Al-misri, 1985,  
Sya’ban Muhammad Ismail, Uṣul Fiqhi : Tarikhuhu wa Rijaluhu, Mekkah : Dar as-Salam, 1998.
Fakhruddin ar-razi, kitab Al-Arbaīn fi uṣul Ad-Dīn, Dar Al-jil, 2004,
Al-Dāwudi, Kasyf l-Zuhūn, Madinah, 1999.
Siddiq Ḥasan, Abjad Al-‘Ulum, kairo 1989.
Muhammad Hasan Al-Umari, Imām Fakhruddīn Ar-Rāzi Hayātuhū wa ‘Aḥsuruhū, Kairo, Majlis Al-‘Ala li asu-Syu’un al-Islamiyah, 1988.
Manna’ Al-Qahṭhṭan, Mabaḥiṡ fil ulūm Al-Qurān, Riaḍh, 1973.
Quraish Syihab, Rasionalitas Al-Quran, Jakarta: Pustaka Hidayat, 1994.



[1] Muḥammad Ḥusai Aż-Żahabi, At-Tafsīr wal Mufassirūn, Darul hadīṡ kairo, 2005, jilid 1 hal. 248.
[2] Abd Mu’īn An-Namīr, Ilmu Tafsīr, cet 1, kairo Dārul kutūb Al-Miṣri, 1985, hlm, 124.
[3] Sya’bān Muḥammad Isma’īl, Uṡul Al-Fiqh : Tarīkhuhū wa Rijāluhū, Mekkah : Dār As-Salām, 1998, hlm.238.
[4] Fakhruddin Ar-Rāzi, Tafsīr Al-kabīr, hlm 1:2.
[5] Abdul Qadir Atha, Al-imam, Kairo, 1998. hlm. 329.
[6] Ibid
[7] Fakhruddīn Ar-Rāzi, kitab Al-Arbain fi uṣul Ad-Dīn, Dār Al-Jīl, thn 2004, hal 5-6
[8] Al-Dāwudi, Kasyīf al-Zuhūn, madinah, 1999, hlm 112
[9] Siddiq Ḥasān, Abjad Al-‘Ulum, kairo 1989, hlm 318
[10] Husain Aż-Żahabi, At-Tafsīr wal Mufassirūn, hlm, 292.
[11]Abd Mu’im An-Namīr, Ilmu At-Tafsīr, cet 1, kairo dar kutub al-Miṣri,1985 hlm, 127.
[12] Muḥammad Ḥasān Al-‘Umari, Imām Fakhruddīn Ar-Rāzi Hayātuhū wa ‘Aḥsuruhū, Kairo, Majlis Al-‘Ala li asu-Syu’un al-Islamiyah, 1988, hlm 123.
[13] Husai Aż-Żahabi, At-Tafsīr wal Mufassirūn, hlm 296.
[14] Manna’ Al-Qaṭṭan, Mabaḥīṡ fil ‘ulum Al-Qurān, Riaḍh, 1973 hlm 288. 
[15] Quraish Syihab, Rasionalitas Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Hidayat, 1994) hlm 136.
[16] Husain Aż-Żahabi, Tafsīr wal Mufassirūn, hlm 296.
This entry was posted in .

0 komentar:

Posting Komentar